ketika aku lahir ayahku tiada menungguimu
engkau berbaring di atas tikar dan satu bantal
dengan seorang dukun menunggui
setelah itu
tiap hari engkau bopong aku dengan jiwa gusar
mengarungi hari-hari penuh darah
ceceran darah manusia mengucur dari samurai jihad
dalam pertarungan ideologi negeri ini
ketika aku tumbuh
engkau titah aku berjalan
dengan ‘geritan’ bambu di depan pintu bambu
kemudian aku mampu berjalan
engkau ajari aku makan
kemudian aku mampu makan
aku mampu berjalan
aku mampu makan
satu setengah tahun aku mulai berumur
aku makan, berjalan ke tempat cuci piring
aku terpelanting
engkau gusar, kakiku gemetar
engkau bopong aku ke atas tikar
ayahku jauh
aku lumpuh
dan engkau bopong lagi aku setahun
mengarungi hari, berjalan kaki
aku hanya duduk di pinggangmu
aku hanya bisa merintih dan menangis
merintih, menangis
siang dan malam
engkau menjagaku
duduk dan terkantuk
akhirnya
kejelian dan panjat doamu berbuah pula
aku bisa berjalan, meskipun aku pincang
ketika aku berkembang
engkau ajari aku menyanyi dan mengaji
engkau titah aku memegang pensil
engkau tuntun aku berdoa dan bicara
engkau jeli meneladani
ketika aku mampu berlari
engkau titah aku melipat baju
engkau ajari aku menyapu
engkau tuntun aku sholat
satu satu engkau ulang dan terpadu
dan setelah aku mampu berfikir
engkau selipkan gertak di antara tuntunan
ketika aku mampu berjuang engkau banyak diam
engkau ajari aku dengan gerakmu
yang meski tanpa kata tetapi cukup padu
dan mampu berbicara
ibu
lewat seuntai sajak
aku hanya mampu mengenang
aku hanya mampu mendoa
aku tak mampu berbuat apa-apa
aku hanya tertegun meniti jejak kepahlawananmu
yang mengantarkanku pada gelanggang manusia
yang menimangku kokoh pada gelombang manusia
ibu
lembut dan kerasmu bermakna
Komentar
Tulis komentar baru