Berselonjor menatap kaki langit. Lidah ombak menjilati bibir pantai Busan menjelang
matahari turun sepenggala. Lalu lalang kapal barang menuju dermaga mengingatkan kita
pada pikuk Periuk di utara Jakarta. Tak pernah senyap. Cerobong asap mewarnai udara
dalam pendar serupa cadar. Puluhan ribu mil kita terdampar rindu pula pada aroma tanah
basah seusai hujan mengguyur katulistiwa. Kita berkilah sembari mengerjap. Dari lorong
jakun sumbang kita nyanyikan syair moyang pelaut. Kisah lelaki perkasa berkawan badai
penakluk laut pantang surut. Dan kita terdampar di Busan menjelang tengah hari. Camar
menukik mencuri pandang. Seluet mereka serasi benar berlatar sunset. Tanak juga rindu
pada gelora Sanur ambang sore. Ke tepian paling ujung tampak kaki langit menelan matahari
disemayamkan pada rahim bumi tempat kita berpijak. Tak sadar kita mengurai cerita masa kecil
dalam linang air mata. Serupa slide kenangan itu meracik diri dalam pesona bahasa. Tatkala
berada jauh dari pelukan pertiwi gumpalan rindu membelesak dada.
Komentar
Tulis komentar baru