Jalan untuk memulihkan keterpurukan hati ternyata juga tidak semudah apa yang banyak disarankan teman maupun keluarga. Aku sangat berhati-hati ketika ada yang pria yang mendekatiku atau yang diperkenalkan oleh orang lain. Aku tidak begitu peduli dengan omongan siapapun dengan usiaku yang sudah melebihi tigapuluh tahun dan belum juga berumahtangga. Kurasa bukan sebuah keputusasaan. Tapi aku mulai berfikir prioritas untuk menentukan langkah hidupku yang masih lebih panjang. Dua hal yang seharusnya pada usia seperti ini telah aku raih, yaitu berumahtangga dan karir pekerjaan, belum tercapai semuanya.
Kekecewaanku pada Mas Arka tidak lagi memenuhi hatiku. Akupun mengganti nomor ponselku agar tidak begitu terikat dengan teman-teman masa lalu, apalagi yang mengecewakanku. Aku belajar membatasi komunikasi via hp kecuali dengan keluarga, teman-teman sekerja, dan jaringan usaha yang masih berjalan. Aku bangkit untuk mengukir hidupku sendiri.
Empat bulan setelah perpisahanku dengan Mas Arka, aku dengar Mas Arka melangsungkan pernikahan. Tapi aku tidak menggubris dan tidak tertarik sama sekali untuk memperhatikan kabar yang kuterima. Bagiku Mas Arka adalah tetes air keruh yang pernah jatuh pada episode hidupku.
“Aku akan fokus kerja untuk meningkatkan status ekonomi dan soasialku,” tekadku dalam hati.
Kerja sebagai tenaga honorer sebagai admin di instansi pemerintah yang sudah hampir sembilan tahun aku tekuni dengan honor yang tetap di bawah UMR. Peningkatan honor yang aku terima beberapakali masih juga tidak signifikan dengan nilai tukar kebutuhan sehari-hari. Dengan tetap bekerja sebagaimana mestinya aku berusaha peluang kerja yang lain, karena mengembangkan usaha di luar jam kerja juga sangat terbatas meski juga bisa untuk memenuhi kebutuhan selama ini.
Di sela-sela kegiatan rutinku di kantor, kubaca sebuah pengumuman penerimaan tenaga pada sekolah swasta yang siap berdiri. Ada dua job yang bisa aku masuki. Sebagai tenaga admin yang membutuhkan dua orang tenaga, dan guru Bahasa Inggris yang hanya butuh satu tenaga.
“Luar kabupaten. Jauh dari rumah. Tapi honor cukup lumayan, hampir duakali lipat dibandingkan dengan yang kuterima saat ini,” bisikku dalam hati ketika membaca pengumuman.
Aku renungkan. Aku timbang-timbang. Dan aku juga minta pertimbangan kedua orangtuaku.
Dukungan kedua orangtuaku begitu kuat. Malah kedua orangtuaku membantu mengupayakan agar aku bisa bekerja agak jauh dari kedua orangtua. Ya, tentu agar bisa diruntut adikku dan juga keluarga yang lain.
“Ndak ada jalan pendekatan to. Kan lembaga swasta,” tanya ibuku suatu ketika.
“Aku kok ndak kenal siapapun bu, karena aku juga ndak pernah ke nama-mana,” jawabku.
“Ndak apa-apa bu, aku tak milih tenaga administrasi saja. Karena pengalamanku telah kuanggap cukup dari pada guru Bahasa Ingrris,” lanjutku.
“Ijazahnya gimana,” tanya ibuku.
“Untuk tenaga administrasi bebas bu. Malah yang diutamakan adalah yang telah memiliki pengalaman dan penguasaan IT,” jawabku selanjutnya.
Seleksi dilakukan secara online. Ada dua belas pendaftar untuk tenaga administrasi dari dua tenaga yang dibutuhkan. Alhamdulillah aku masuk delapan calon tenaga yang harus menjalani tes praktek dan wawancara. Dan sesuai dengan pengumuman, tes praktek menentukan dua pertiga dari jumlah peserta yang mengikuti. Lima dari delapan peserta dinyatakan lolos seleksi karena mempunyai nilai yang hampir sama. Dan di lima peserta itulah akan mengikuti tes wawancara.
Lembaga Pendidikan Harapan Mulia aku akui cukup profesional meskipun baru didirikan. Direktur lembaganya meskipun perempuan dan masih cukup muda, masih usia sekitar duapuluh tujuh tahun, aku anggap cukup mumpuni. Maklum dia lulusan strata dua dari Istambul.
Tes wawancara dimulai. Semua peserta dikarantina selama dua hari tiga malam dengan layanan akomodasi yang cukup memuaskan dan suasana yang cukup akrab. Untung saat itu dimulai Jum’at malam, jadi aku ndak meninggalkan pekerjaan rutinku di kantor.
“Lamat-lamat sepertinya aku mengenali wajah direktur lembaga. Lamat-lamat, karena memang ditutup dengan masker,” bisikku dalam hati.
Beliau kelihatannya juga agak mengenali wajahku ketika aku mengambil tempat duduk berhadapan saat mengikuti pengarahan menjelang tes wawancara. Apalagi pengarahan waktu itu dilaksanakan dengan suasana santai dengan duduk di lantai secara melingkar.
“Mbak,” sapa beliau seraya mendekatiku ketika aku mengambil scak di sela-sela pengarahan.
“Ya bu,“ jawabku.
“Bisa buka masker sebentar,” lanjutnya
“Yabu,” jawabku kemudian.
Beliau hanya tersenyum dan mempersilakan aku kembali ke tempat. Aku menunggu sapaan berikutnya. Tapi tidak beliau lakukan. Dan hingga pengarahan selesai tak ada sapaan istimewa dari beliau sedikitpun.
“Aku seperti mengenali suaranya. Juga gaya bicaranya. Tapi entah di mana ya,” bisikku dalam hati.
Wawancara memang dilakukan begitu ketat meski dengan suasana santai. Bahkan ternyata dengan sistem karantina bukan hanya sekedar wawancara secara lisan. Gerak-gerik kami selama di karantina ternyata dinilai dan ditunjukkan secara terbuka saat kami mendapat giliran wawancara satu persatu.
“Teman-teman peserta, nanti mulai jam delapan pagi kita mulai wawancara sesuai dengan alur dan pembagian yang telah kami sampaikan. Dan perlu diketahui bahwa nilai wawancara bukan hanya didapat dari temu tatap muka dengan tim pewawancara, tapi semua apa yang teman-teman lakukan selama satu hari dua malam di area karantina ini telah kami nilai. Semua aktivitas teman-teman sumua terekam dalam aplikasi yang telah kami siapkan, kecuali ketika di kamar mandi dan waktu tidur,” bunyi pengumuman dari shound ketika semua peserta menikmati makan pagi.
Rupanya tak ada yang tenang menghadapi tes wawancara. Ya, memang tidak seperti biasanya. Dan tidak tahu kalau gerak polah selama karantina juga menentukan. Aku juga berdebar-debar setelah mendengar pengumuman. Apalagi setelah mendapat giliran. Rasanya perut mual dan ingin kebelakang.
“Silakan duduk mbak,” ucap direktur lembaga di ruang tertutup yang dipenuhi aneka buku sambil berdiri dan mempersilakan aku duduk di kursi.
Dengan gemetar dan mencoba sedikit senyum aku duduk di hadapannya sambil memperhatikan beliau membaca kembali curriculum vitae ku.
“Pindah duduk di sini mbak,” perintah beliau sambil melangkah ke kursi sofa di depan meja kerjanya.
“Grogi mbak ya,” lanjutnya sambil duduk di dekatku agak menyudut.
“Bisa melepas masker,” perintahnya juga sambil melepas masker yang dikenakannya.
“Masih ingat saya mbak?” tanyanya
“Apa bener mbak Nita ya?” tanyaku balik.
“Mbak Nita putrinya Pak Mulya,” lanjutku menegaskan.
“Betul mbak, saya yang ketika mbak pernah ke rumah waktu itu saya masih SMA,” jawabnya.
Aku hanya menatapnya tajam dengan masih agak penasaran. Akupun terdiam dan tiba-tiba fikiranku teringat saat-saat hatiku tertaut dengan Pak Mulya.
“Bapak yang merintis lembaga ini, karena itu minta pensiun dini,” lanjut mbak Nita menegaskan.
“Mbak,eh siapa namanya,” lanjutnya
“Wulan,” jawabku
“O...iya. Mbak Wulan ndak lagi di dinas sama bapak dulu to,” tanyanya.
“Masih sebenarnya, tapi sampai saat ini tak ada peningkatan yang berarti dan juga tidak ada kejelasan masa depan,” jawabku.
“Tapi siap di sini kan?” tanyanya kemudian
“Insya Allah,” jawabku
“Eh...mbak. Nanti jangan keburu pulang ya. Bapak di sini kok. Nanti sama saya setelah selesai acara. Ini kan tinggal empat perserta lagi,” lanjut Nita.
Setelah aku memasuki kamar karantina, seperti yang lain, aku mengemasi barang-barangku dan bersiap pulang. Dengan agak lambat karena pesan mbak Nita hatiku mulai tak menentu.
Ada yang mengetuk pintu kamarku.
“Assalamu’alaikum” sapannya sambil membuka pintu yang memang telah setengah terbuka.
“Wa’alaikumussalam,” jawabku.
“Mbak Wulan ya,” tanya salah seorang utusan lembaga.
“Ada permintaan dari Bu Nita, Mbak Wulan suruh ke rumah.
“Sekarang mbak ya?” tanyaku menegaskan.
“Ya, sekarang. Jalan aja mbak lewat pintu belakang. Rumahnya hanya belakang area ini. Atau saya antar aja sampai ke rumah,” lanjutnya.
“Ya mbak,” jawabku.
“Barang-barangnya biar di sini aja mbak. Termasuk sepeda. Insya Allah aman,” lanjutnya menegaskan.
Mula-mula tak terbesit rasa apapun terhadap Pak Mulya. Tetapi setelah mulai memasuki rumah perasaanku mulai lain. Padahal ketemu Pak Mulya pun belum.
“Masuk mbak Wulan,” sambut Mbak Nita sambil tersenyum dan mempersilakan aku duduk di kursi tamu yang terbuat dari kayu ukir.
“Bapak masih nunggui pekerja di calon bangunan sebelah. Insya Allah sebentar lagi istirahat,” lanjutnya.
“Ibuk juga ikut ke sini ya mbak,” tanyaku.
“Maaf mbak, ibuk sudah ndak ada sekitar enam bulan lalu,” jawabnya sambil menahan air mata.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,” ucapku lirih.
Aku menunduk dan air mataku tiba-tiba menetes. Aku masih teringat dengan istri Pak Mulya yang begitu perhatian padaku. Ibarat aku anak, maka waktu itu aku dianggap anaknya sendiri. Ibarat aku adik aku dianggap adiknya sendiri. Akupun tidak tahu kenapa seperti itu.
“Mudah-mudah Allah melimpah maghfiroh dan rahmat, hingga di yaumil hisab,” lanjutku lirih.
“Maaf, saya tinggal ke belakang sebentar ya mbak,” ucap mbak Nita sambil langsung berdiri.
Sayup-sayup kudengar suara Pak Mulya di belakang sedang berbincang dengan beberapa orang. Kudengar pula mbak Nita menyuruh ayahnya untuk segera bersih diri dan makan siang.
Aku termenung sendirian di ruang tamu. Hatiku masih terasa teriris mendengan kabar istri Pak Mulya telah tiada. Hatikupun berganti merasa malu ketika teringat episode pejalanan hidup yang kulalui bersama Pak Mulya.
“Mbak, ditunggu Bapak di ruang makan,” ucap mbak Nita sambil berdiri di depan pintu tengah.
Aku hanya terdiam sambil manatap mbak Nita. Entah apa yang terlintas di hatiku. Aku juga seperti ditempat yang tidak asing karena calon direkturku begitu ramah dan seperti dengan keluarganya sendiri.
“Ayo mbak,” ajaknya menegaskan.
Aku berjalan mengikuti mbak Nita ke maja makan. Pak Mulya mengerutkan keningnya sambil menatapku.
“Assalamu’alaikum. Pak..!” sapaku sambil langsung membungkukkan badan dan mendekap kaki Pak Mulya.
“Wulan kan,” tanyanya meyakinkan.
“Iya, Pak,” jawabku.
“Duduk dulu, duduk dulu!” perintah Pak Mulya sambil mengangkat badanku.
“Kok ngerti kalau saya di sini,” tanya Pak Mulya.
“Gini Pak,” sahut mbak Nita sambil duduk di dekat ayahnya.
“Mbak Wulan ternyata merupakan salah satu peserta penjanringan tenaga administrasi di lembaga kita,” lanjut Mbak Nita menjelaskan.
“Terus gimana,” tanya Pak Mulya pada Mbak Nita.
“Mbak Wulan termasuk salah satu tiga peserta yang masuk kategori memenuhi persyaratan. Nilainya hampir sama dengan kedua peserta lainnya,” jawab Mbak Nita.
“Ayo makan dulu aja. Kita ngobrol sambil makan,” ajak Pak Mulya.
“Wulan, nomornya ganti ya?” tanya Pak Mulya
“Iya Pak,” jawabku singkat.
“Makanya tak hubungi ndak bisa. Maksudku sejak Bapak merintis lembaga ini saya suruh bantu. Kan bisa seecara online,” lanjut Pak Mulya.
“Nit, gimana kalau ketiga calon tenaga admin diterima semua. Nanti salah satu untuk bantu ayah di bagian administrasi yayasan,” tanya Pak Mulya pada mbak Nita.
“Bisa pak. Nanti mbak Wulan aja yang bantu sebagai admin yayasan,” jawab Mbak Nita.
“Gimana Wulan,” tanya Pak Mulya.
“Insya Allah pak,” jawabku.
Kami diam sebentar sambil meneruskan makan siang. Tanpa harus disuruh aku langsung membawa tempat makanan yang kotor ke wastafel.
“Ndak usah dicuci mbak. Nanti ada yang betugas membersihkan,” ujar mbak Nita.
“Pak, mohon maaf. Saya baru tahu kalau ibu sudah nadak ada. Mohon maaf saya belum bisa balas budi,” ungkapku pada Pak Mulya sambil kembali duduk di ruang makan.
“Sebenarnya dua tiga hari sebelum meninggal beberapa kali menanyakanmu. Tapi saya hubungi ndak bisa,” jawab Pak Mulya.
“Nit... jadinya gimana. Untuk tenaga admin ambil tiga ya,” tanya Pak Mulya menegaskan pada Mbak Nita.
“Ya gitu aja Pak. Saya malah ndak terlalu banyak menimbang,” jawab Mbak Nita.
“Jadi saya langsung diterima ya Pak,” tanyaku menyela.
“He...he...he... Insya Allah. Tapi ndak perlu menyampaikan dulu pada yang lain. Tunggu aja pengumuman resmi,” jawab Pak Mulya.
“Oya. Maaf, kita di ruang tamu aja. Masak di ruang makan,” ajak Pak Mulya.
Aku berjalan mengikuti Pak Mulya dan langsung duduk di kursi yang tadinya aku tempati. Aku merasa bahagia karena telah dinyatakan diterima meski masih disampaikan secara lisan.
“Pak, setelah ini saya tak ijin pulang, karena besok masih harus masuk kerja,” ucapku.
“O iya. Teruskan aja pekerjaan yang lama dengan sebaik-baiknya. Kan masih satu setengah bulan lagi masuk di sini. Tetap jaga ketenangan kerja, ndak usah cerita dengan teman-teman lain kalau mau pindah ke sini. Apalagi mengatakan kalau di lembagaku,” tegas Pak Mulya.
“Baik pak. Terimakasih,” jawabku.
Hatiku kembali merasakan kebahagiaan. Aku lebih tenang dan bersemangat melakukan aktivitas. Hari-hari kulalui dengan keceriaan. Baik di kantor maupun di rumah aku mulai kembali suka mendengarkan musik.
Satu bulan kemudian pengumuman resmi dari Lembaga Pendidikan Harapan Mulia di keluarkan. Dan seperti yang disampaikan Pak Mulya aku diterima dan ditempatkan sebagai admin yayasan. Dengan demikian tugasku lebih luas.
Ada waktu dua pekan untuk mempersiapkan segala kelengkapan karena memang semua tenaga yang diterima di lembaga itu telah disiapkan tempat tinggal.
Setelah aku bekerja di Yayasan Bina Mulia sebagai induk dari Lembaga Pendidikan Harapan Mulia, komunikasiku dengan Pak Mulya makin intens. Hampir tiap hari aku bisa bertemu. Desir cinta di hatiku tumbuh kembali. Kenangan masa lalu muncul kembali dalam ingatanku secara otomatis. Apalagi ketika aku seperti kerasukan setan dengan nafsuku yang menggelora ketika di stadion.
“Mbak Wulan,” tanya Mbak Nita suatu waktu saat aku beristirahat usai sholat Ashar.
“Kalau saya mau tanya secara pribadi boleh ndak ya,” lanjutnya.
Aku diam sebentar sambil menatap serius pada Mbak Nita. Mbak Nita juga menatapku tanda keseriusan.
“Jujur mbak, Mbak Wulan apa belum berencana berumahtangga. Kan usia sudah melampaui wanita di sini pada umumnya,” tanya Mbak Nita menegaskan.
“Gimana ya. Mungkin masih belum ketemu jodoh yang pas,” jawabku setelah beberapa saat terdiam.
“Kalau semua minta ukuran ideal jelas akan sulit mbak. Bisa jadi dengan bertambahnya usia nanti malah dapat seadanya,” tegas mbak Nita.
Kami terdiam dan saling mamandang serius. Hatiku jadi galau untuk bisa menjawab pertanyaan seperti itu. Aku seperti menghadapi orang tuaku saat memberi pertanyaan yang sama padaku. Ia lebih muda tapi aku akui lebih dewasa cara berfikirnya.
“Okelah kalau gitu. Maaf mbak ya. Jangan jadi beban fikiran ya,” lanjutnya sambil beranjak dari tempatku istirahat.
Hari-hariku kembali normal. Desir cintaku pada Pak Mulya yang terasa tumbuh kembali mempengaruhi penampilanku. Pak Mulya yang hampir tiap hari bekerja denganku seringkali menatapku penuh isyarat. Aku merasakan hal itu karena dulu juga seperti itu. Tapi aku juga harus mampu menahan diri sekuat mungkin.
Malam itu malam ulangtahunku. Aku menyepi dalam rumah. Pak Mulya yang dulu biasa mengucapkan ulang tahun juga mungkin telah lupa karena banyak hal yang harus dikerjakan. Kuambil bungkusan yang kusimpan rapi yang berisi mukena merah muda dan kalung yang pernah diberikan Pak Mulya.
“Kubuka apa ndak ya,” bisikku dalam hati.
Sampai hampir tengah malam aku belum lagi bisa tidur. Fikiranku kembali mengingat seluruh perjalanan yang pernah kulalui bersama Pak Mulya. Peristiwa yang begitu menggetarkan dan menghentak nafsuku ketika kalung pertama kali di pasang di leherku dan setelah itu ketika ditata di antara kedua buah dadaku di bawah pohon di stadion.
“Gimana ya,” tanyaku dalam hati
“Aku buka maupun tidak, mesti membawa resiko terhadap hatiku sendiri,” bisikku dalam hati lebih lanjut.
Aku tercenung dan diam beberapa saat. Kupengangi dan kupandangi bungkusan itu dengan suasana hati yang membawa pada perjalanan masa lalu. Kurenungkan, kupertimbangkan dengan penuh hati-hati. Ibarat ingin mengambil ikan di kolam jangan sampai airnya keruh hingga ikan tak kudapat.
Hati dan fikiranku seperti berebut pengaruh pada tindakan yang aku lakukan. Akhirnya aku bertekad bulat untuk membuka dan memakai kembali kalung maupun mukena merah muda yang lama kusimpan.
Keesokan harinya aku sengaja datang ke kantor lebih awal. Di kantor aku talikan ujung jilbabku ke belakang dan aku biarkan kalungku terlihat dan menggantung di dadaku.
Sepeti biasanya, kegiatan pertama yang kulakukan di kantor adalah membersihkan ruangan, menata meja kerjaku sendiri dan menata meja kerja Pak Mulya. Jelang pak Mulya memasuki ruangan aku sengaja pas menata meja kerja beliau dengan posisi menghadap ke pintu masuk.
Pak Mulya yang berdiri di dekat meja kerjanya manatap ke arah kalungku. Sementara aku sendiri seakan tidak menyadari.
“Sebentar,” ucap Pak Mulya sambil mendekatiku.
“Ini kalung yang dulu itu ya,” lanjutnya sambil memegang liontin yang tergantung di dadaku.
Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala lirih. Hatiku kian gemetar karena ujung jari Pak Mulya menyentuh tepi buah dadaku. Aku menoleh kiri kanan jangan-jangan ada yang melihatku.
“Pak, ini nanti sekitar jam sepuluh saya ijin pulang sebentar. Ngantar pesanan ibuk. Insya Allah sore sudah kembali ke sini,” permohonanku ke Pak Mulya.
“O ya. Hati-hati di jalan,” jawab Pak Mulya.
“Salam untuk keluarga ya,” lanjut Pak Mulya.
“Iya pak. Insya Allah,” jawabku kemudian sambil melirik ke Pak Mulya.
Perjalananku pulang dihiasi dengan beribu lamunan seperti halnya beberapa tahun yang lalu. Dalam hati sebenarnya aku pingin jalan-jalan, manja dan mesra lagi dengan Pak Mulya. Tapi aku menyadari bahwa usiaku sudah tak lagi pantas melakukan hal seperti itu. Apalagi aku bekerja bersama Qonita anaknya.
Akhirnya aku lebih banyak menahan rasa hatiku dengan melamun seperti anak-anak. Akupun tak mampu membayangkan entah sampai kapan indahnya lamunan akan menemani hidupku. Akankah rasa cintaku pada Pak Mulya bisa aku wujudkan dalam sebuah ikatan rumah tangga, atau kah mimpiku tetap menjadi mimpi yang terus menyiksa batinku. Aku tak mampu berbuat apapun keculi ketentuan Illahi memang berpihak pada ketulusan cintaku.
Komentar
Tulis komentar baru