Ketika pernah hidup bersama kemudian berpisah setiap orang tentu memiliki rasa rindu. Apalagi bila ada ikatan emosional atau ikatan hati yang begitu tulus. Bahkan berpisah dengan hati yang saling membencipun dalam titik-titik kehidupan tertentu bisa juga muncul desiran rindu.
Awal-awal kepindahanku ke tempat kerja yang baru memang aku belum menyatu dengan tempat kerja yang baru. Ganti pimpinan, ganti teman kerja, dan ganti pula suasana fisik yang melingkupi kegiatan keseharianku. Apalagi aku bukan termasuk pribadi yang bisa dengan cepat menyesuaikan diri pada lingkungan baru. Aku akui, bila aku sudah terpaku pada satu hal memang aku perlu waktu dan dinamika hati untuk melepaskannya. Dan aku rasakan di situlah kekuatan dan kelemahanku berpadu.
Lambat laun memang aku bisa melepas ikatan hati dengan rekan-rekan kerja di tempat kerja yang lama dan berganti mengikat hati dengan rekan-rekan kerja di tempat yang baru. Namun dengan Pak Mulya memang lain. Ketika dengan rekan-rekan yang lain aku mampu melepas ikatan hati antara sata sampai tiga bulan, dengan Pak Mulya nyatanya tidak bisa aku lakukan. Bahkan lebih setengah tahun kami berpisah, aku tidak bisa melepas ikat hati dengannya. Apalagi ketika setiap kali aku meraba leher dengan kalung dari Pak Mulya yang menggantung.
Rinduku pada pak Mulya terkadang bisa mengganggu konsentrasi kerjaku tapi juga terkadang memacu untuk melakukan kegiatan lebih cepat dan lebih baik. Ya..., mungkin hal itu tergantung suasana hatiku. Atau mungkin kami sama-sama merindu sampai pengaruh getar rindu Pak Mulya merasuk padaku.
Suatu sore aku memang terlambat pulang karena memang harus menyelesaikan laporan. Sementara hujan masih belum reda dan teman-teman lain sudah tak ada di kantor. Sendiri aku sepi sendiri.
Usai sholat ashar di musholla kantor yang memang jarang digunakan kucoba mengusir sepi dan kesendirianku sambil mengunggu hujan reda. Entah aku tertidur atau berdoa terlalu lama, tanpa kurasa tiba-tiba bayang Pak Mulya menghampiriku. Seperti yang pernah hadir dalam mimpiku di awal aku terikat hati dengannya, aku tengan bersimpuh di kaki Pak Mulya ketika Pak Mulya sedang duduk di tahiyat akhir. Aku tergagap
”Ini mimpi, halusinasi, atau apa ya!” bisikku dalam hati.
Aku memang tidak tahu persis isyarat apa yang kuterima. Tapi yang terjadi setelah itu rinduku pada Pak Mulya mampu membuatku menumbuhkan semangat baru. Aku tidak lagi banyak membayangkan yang negatif tentang kecenderungan hatiku pada Pak Mulya, tapi sebaliknya melahirkan kegiatan positif dan kreatif. Bahkan dalam setiap doa usai sholat selalu aku doakan karena memang kurasa banyak berjasa dalam mewarnai hidupku.
“Assalamu’alaikum,” panggil Pak Mulya via telp biasa setelah aku angkat hpku pada suatu malam.
“Wa’alaikumussalam,” jawabku sambil senyum tanda kegembiraan.
“ Gimana pak kabarnya,” lanjutku.
“Alhamdulillah, baik dan tetap seperti biasanya,” balas Pak Mulya.
“Sibuk apa kalau jam segini ini,” lanjut Pak Mulya.
“Istirahat pak, sambil mulai nonton TV,” jawabku.
“Eh..., saat ini saya di alun-alun. Nongkrong sendirian. Kalau longgar bisa merapat. Toh kan ndak terlalu jauh dari rumah,” lanjut Pak Mulya.
Aku diam sejenak. Berfikir dan mepertimbangkan baik-buruknya.
“Emmm, he...he...he....., kok ndak enak ya Pak. Sebenarnya pingin sekali, tapi nanti menimbulkan gosip lagi. Saya sebenarnya juga pingin telephon bapak sejak beberapa hari yang lalu,” balasku.
“Eh.., pak. Seandainya kita ketemu untuk sekedar ngobrol-ngobrol boleh kan,” lanjutku.
“Ndak apa-apa. Kapan yo?” tanya Pak Mulya
“Kapan ya,” balasku
“Kalau Sabtu pagi gimana. Kita ke stadion sambil membugarkan diri,” jawab Pak Mulya.
“Bener pak,” tanyaku meyakinkan
“Ya. Sabtu saya longgar kok. Ini Nita anakku perempuan ada di rumah, jadi bisa njaga dan melayani di perpus,” jawab Pak Mulya.
“Bener lo pak. Siap hari Sabtu ya,” jawabku.
“Sekarang nongkrong sendirian aja ya pak.bMaaf belum bisa menemani,” lanjutku.
“Ndak apa-apa. Makasih ya, sampai ketemu sabtu,” balas Pak Mulya.
“Makasih banget pak, .sampai jumpa,” balasku.
Pucuk dicinta ulam tiba. Begitu rinduku pada Pak Mulya terobati. Meski sementara hanya dengar suaranya tapi udah mampu mengobati. Rasa bahagia tumbuh kembali dalam hatiku. Ibarat benih yang tertimbun dalam bumi kemudian tumbuh ceria setelah diterpa rinai hujan.
“Masih tiga hari lagi sampai Sabtu. Padahal rinduku kian tak terbendung. Apalagi ketika jelang tidur dan kondisi hatiku kosong sama sekali,” bisikku dalam hati.
Jum’at sore usai pulang kerja hatiku telah gelisah. Usai bersih diri pingin sekali telepon Pak Mulya. Tapi aku tahan dan aku perangi keinginanku. Aku belajar menata ritme rinduku untuk bertemu sebai-baiknya agar semua berjalan wajar.
“Menurutkan nasfu yang memang menggebu mungkin bisa segera mampu melepas keinginanmu, namun bila engkau mampu menata ritme nafsumu dengan melepas pada cara yang terukur dan tepat, maka engkau akan meniknati keindahan dan kenikmatan melampaui apa yang engkau inginkan,” begitu kutipan dalam buku harianku yang kuambil dari buku Etika Seksualitas dalam Islam yang pernah kubaca di perpustakaan Pak Mulya.
“Ya. Aku harus mampu menahan nafsuku. Mudah-mudahan ketika kami bersua besok akan kuterima keceriaan,” bisikku dalam hati dengan senyum dan penuh semangat.
Hatiku reda kembali. Kegelisahan yang menyelimutiku terlepas. Namum nyatanya tak bertahan lama. Malam hari aku terbangun lebih awal, masih sekitar jam setengah dua malam. Kegelisahanku muncul kembali. Mau tidur tidak bisa, mau sholat tahajut ndak bisa fokus. Aku pegang hp juga ndak jelas mau apa.
“Oh... ada pesan dari Pak Mulya,” bisikku dalam hati dengan agak kaget sambil membuka pesan.
“Maaf ya, besok agak siang ndak apa-apa kan,” pesan WA Pak Mulya.
“Ndak apa-apa pak, Tapi bener jadi ke stadion kan,” balasku.
Pesanku masuk tapi belum juga Pak Mulya menjawab hingga jam delapan pagi. Sedianya aku mau menyampaikan pesan ulang usai shubuh. Tapi benar-benar aku tahan. Aku percaya bahwa Pak Mulya tetap memenuhi apa yang disampaikan.
Jam delapan lebih sedikit ada pesan WatsApp lagi dari Pak Mulya,
“Maaf, sejak tadi malam saya ngantar adik dan menunggui di rumah sakit. Ini nanti baru ada yang menggantikan sekitar jam setengah sepuluh. Kalau saya tetap ke stadion sekalian melepas lelah. Kalau Wulan memang jadi ke stadion juga, ya jam sepuluh lah kira-kira.”
”Ya pak, tetap seperti rencana semula,” balasku.
“Oke. Sampai jumpa,” balas pak Mulya.
Hatiku terasa tenang. Tubuhku makin bugar. Semangatku tumbuh kembali. Aku memanfaat waktu yang masih ada untuk menyeterika baju dan merapikan kamar sambil mengamati kalung dari Pak Mulya yang tetap melingkar menghias leher serta liontin yang bergantung tepat diantara buah dadaku.
Pesan WatsApp pak Mulya kuterima lagi sekitar satu jam sebelum jam yang kami sepakati untuk bertemu.
“Apa lagi, jangan-jangan penundaan lagi,” bisikku dalam hati dengan penasaran sambil membuka hp.
“Oh, hanya link ke website. Apa ya.....,” bisikku dalam hati lebih lanjut sambil membuka link yang agak sulit aku akses karena memang meski rumahku dekat dengan kota seringkali agak sulit akses internet.
“O...website nya Pak Mulya sendiri. Website khusus karya-karya puisi Pak Mulya sendiri,” bisikku dalam hati.
Kubuka dan kunikmati puisi itu sebagai pelepas rindu sambil menunggu waktu. “Kupilin Rinduku Dalam Doa,” judul puisi yang di linkkan ke aku
di depan pintu ini sengaja engkau injak kakiku
dari ruang ini engkau selalu memanggilku
dari kursi kerjamu engkau bicara lewat kerling mata
di emperan ini kitapun bersama merangkai bunga
dan di gubug hamparan sawah itu kita makan bersama
maka ketika kini kita hanya bisa bercanda dalam maya
karena memang harus dipisahkan suasana
baru kupahami
bahwa ternyata diam-diam kita menguntai cinta
dan kini dalam sepiku
tapak kakimu seperti terus mengikutiku
bayang wajahmupun berkelibat di pelupuk mataku
aku rindu, dan sungguh aku merindu
yang tak lagi mampu kuurai
hanya dengan merangkai bait-bait puisi
yang tak lagi mampu kuseka
hanya dengan canda lewat dunia maya
aku rindu dan hanya bisa merindu
sedang untuk bertemu kita harus menghitung waktu
yang dibatasi oleh kebijakan tiada menentu
yang sampai kapan kita seperti tiada tahu
maka harus kita temukan formula
agar dahaga rindu ini tak seperti menatap fatamorgana
harus kutemukan formula
dan kini kupilin rinduku dalam doa
Aku begitu tercenung. Ternyata bukan aku sendiri yang begitu rindu. Pak Mulya ternyata juga merasakan hal yang sama. Tapi sayang aku belum berani menuliskan rasa hatiku seperti yang Pak Mulya lakukan.
Jam ternyata berjalan begitu cepat. Hampir jam sepuluh. Padahal akupun belum sempat mandi.
“Pak! He...he...he... terlambat sedikit ndak apa ya.,” pesan WatsApp ku pada Pak Mulya sambil bersiap bersih diri.
Tanpa buka hp lagi usai bersih diri dan berdandan aku langsung meluncur ke stadion yang hanya berjarak dua kilometer dari rumah.
“Mana ya mobil Pak Mulya,” bisikku dalam hati ketika aku sampai di tempat parkir.
Tanpa menghubungi via hp aku langsung masuk stadion aja sambil mengamati di sekitar pintu masuk. Terkejut aku ketika Pak Mulya menepuk pundakku dari belakang.
“Pak! Baru datang to,” sapaku sambil tersenyum.
“Ndak, dah dari tadi. Tertidur di sini,” jawab Pak Mulya sambil menunjuk bawah pohon ketapang yang teduh.
“Pulang atau bawa ganti pak tadi,” lajutku sambil mulai melangkahkan kaki berdampingan.
“Ndak, malah ini tadi mampir ke toko olah raga untuk cari trining. Kalau yang atas ya sejak kemarin ndak ganti,” jawab Pak Mulya.
“Agak bahu sedikit ndak apa kan,” lanjut Pak Mulya sambil tersenyum dan menoleh padaku.
“He...he...he...” balasku sambil terus berjalan.
“Sepi ya pak. Kelihatannya hanya kita berdua,” lanjutku
Kami mulai berjalan berdampingan sambil ngobrol ringan. Meski degup jantungku seperti tak tertahan aku mencoba untuk menyembinyikan.
“Lama ndak ketemu kok malah tampak tambah cantik,” ungkap Pak Mulya.
Aku hanya tersenyum dan tersipu sambil menoleh ke arah Pak Mulya. Hatikupun gemetar dengan yang disampaikan.
“Pak, istirahat sebentar di ujung sana,” aku membuka kembali percakapan setelah beberapa saat kami terdiam.
“Kenapa, lelah to,” tanya Pak Mulya sambil terus berjalan.
“He...he...he... agak panas,” jawabku singkat.
Sebelum kami beristirahat di bawah teduh rerimbunan pohon, aku kalungkan ujung jilbabku ke belakang agar liontin kalung yang pemberian Pak Mulya yang dari rumah sengaja saya keluarkan dari balik kos nampak tergantung diantara buah dadaku.
Aku duduk duluan di sebuah akar pohon. Sementara Pak Mulya masih berdiri di depanku sambil tersenyum dan menatap liontin kalungku. Pak Mulya jongkok dan nenata liontin tepat ditengah kedua buah dadaku. Aku gemetaran. Hampir kuraih tangan Pak Mulya untuk kudekapkan ke dadaku.
Aku menatap wajah Pak Mulya dengan dipenuhi desir nafsu. Keringat dingin mulai membasahi tanganku yang mulai turut menghangat dan gemetaran. Pak Mulya terus menatapku. Aku menunduk dengan meletakkan tangan dan dahi pada lutut sambil menahan disis yang tiba-tiba keluar dari mulutku.
“Ayo jalan lagi,” ajak Pak Mulya sambil memijit pahaku.
Tanpa kata, aku pun berdiri sambil menggigit bibir serta menunduk dan mehanan desis yang tetap keluar dari mulutku.
“Pak!” ungkapku pada Pak Mulya setelah melangkah beberapa meter dari bawah pohon sambil meraih ujung tangannya.
Pak Mulya diam dan sambil terus melangkah. Aku berjalan di sampingnya sambil agak menahan tangan Pak Mulya. Nafsuku kian ndak karuan.
“Ssttttt..” suit Pak Mulya.
“He...he...ini di mana,” lanjut Pak Mulya.
“Pak, agak pusing. Berhenti sebentar,” ungkapku
“Ya, di balik tembok itu,” jawab Pak Mulya.
Kami berhenti di balik tombok tribun. Aku bersandar pada tembok dengan menunduk dengan tetap menahan desis dari mulutku. Pak Mulya berdiri tepat di depanku dan mengangkat daguku hingga mata kami berpapasan. Mataku tiba-tiba terpejam.
“Wulan, sebenarnya aku juga merasakan sesuatu yang sama. Tapi apakah pantas aku melakukan sesuatu padamu” tanya Pak Mulya.
“Mungkin di sini, meski di ruang terbuka seperti ini, tak ada manusia lain yang akan melihat. Tapi gimana dengan hati kecil kita. Relakah kita mengotori cinta kasih yang kita jaga selama ini,” lanjut Pak Mulya.
Aku diam dan tertunduk malu. Kuhela nafas, kutahan desis mulutku sekuat mungkin, dan aku seperti lemas serta terduduk.
“Maaf ya, ndak apa-apa kan aku menyampaikan seperti ini,” sambung Pak Mulya.
Aku ma sih terdiam. Pak Mulya berjongkok tepat di depanku sambil meletakkan kedua tangannya pada kedua pundakku. Desis mulutku lerai. Hatiku mulai agak tenang.
“Pak, aku yang mohon maaf. Rasanya memang tadi aku dah seperti ndak kuat menahan dorongan nafsu. Aku juga sampai tidak terasa di mana aku sekarang,” jawabku sambil tetap tertunduk malu.
“Ndak apa-apa. Tapi dak marahkan?” tanya Pak Mulya
“Sama sekali tidak. Malah aku bersyukur masih diingatkan,” jawabku.
“Aku lalai pak! Sekali lagi mohon maaf,” lanjutku.
“Bener ndak marah dan kecewa,” sahut Pak Mulya
Aku hanya menggelengkan kepala sambil masih tertunduk. Hatiku kian tenang. Keteduhan kembali menghampiri diriku.
“Wulan,” panggil Pak Mulya lembut sambil menekan bahuku.
“Coba kalau bener dan kecewa, coba tatap senyum dan tatap aku,” lanjut Pak Mulya.
Aku masih trertunduk. Keteduhan yang merayap dalam hati kini membawa air mataku tiba-tiba menetes hingga hidungku juga berair.
“Ada tisue Pak?” tanyaku pada Pak Mulya sambil tetap menunduk.
“Sebentar,” jawab Pak Mulya.
Pak Mulya kudengar membuka tas pinggang dan segera menyentuhkan tisue di ujung jariku.
“Ini ada dua jenis. Ini tisue kering dan ini isue basah,” lanjut Pak Mulya.
“Ayo terseyum,” ledek Pak Mulya sambil mengangkat kepalaku.
Dengan masih dibasahi air mata dan air bening yang mengalir dari hidungku, aku tersunyum sambil mengarahkan wajah ke Pak Mulya.
“Makin panas nih, yuk kita pindah di bawah pohon itu,” ajak Pak Mulya sambil menarik pelan tanganku.
Aku langsung berdiri sambil membersihkan air yang menetes dari hidungku dengan tisue yang hampir lumat.
“Sini yuk!” ajak Pak Mulya sambil menarik tanganku untuk mengajak duduk.
“Kita istirahat sebentar. Nanti jalan lagi. Masih separo stadion,” lanjut Pak Mulya.
“Pak, aku betul-betul minta maaf. Dan tolong menyadari kondisi hatiku,” ungkapku pada Pak Mulya.
Air mata dan air bening dari hidungku mulai kering. Jiwaku tenang kembali. Perasaanku telah kembali pulih dan terasa seperti tidak ada apa-apa sebelumnya.
“Tisue basah?” tanya Pak Mulya sambil meletakkannya di telapak tanganku.
Kuterima tisue itu sambil tersenyum dan menatap manja Pak Mulya yang nanpak begitu mempesonaku.
“Makasih Pak,” jawabku.
“Yuk jalan lagi pak!” ajakku sambil berdiri.
“Tapi tetap senyum lo ya. Tetap senyum sambil makan di sana nanti. Tetap senyum sampai kita berpisah nanti, dan tetap senyum selamanya,” ledek Pak Mulya sambil mulai melangkah untuk meneruskan jalan.
“Pak, eemm...,” sahutku sambil menghentikan langkah, senyum manja dan mencubit pupu Pak Mulya.
“Eh...Wulan. Gimana gosip yang dulu berkembang,” tanya Pak Mulya sambil berjalan dan mengalihkan pembicaraan.
“Dah hilang dengan sendirinya tuh,” jawabku
“Eh ... pak, sekitar sepuluh hari yang lalu ibuk mampir ke kantorku,” lanjutku.
“Masak iya. Kok ndak pernah cerita,“ tanggap Pak Mulya.
“Iya Pak?” tanyaku penasaran.
“Trus ngomong apa?” tanya Pak Mulya.
“Ndak ngomong apa-apa tuh. Malah ngajak keluar dan makan siang di warung sate,” jawabku.
“Di warung juga ndak nyinggung kita sama sekali, malah cerita-cerita yang lain,” lanjutku menegaskan.
Pak Mulya hanya mangangguk-angguk sambil tetap memegang serta meremas lirih jemariku.
Pak Mulya melepas tanganku dan minggir ke bawah pohon dekat pintu gerbang stadion.
“Duduk sebentar sambil mengeringkan keringat,” ajak Pak Mulya.
Aku langsung mengikuti dan duduk di sampingnya. Aku lihat wajah Pak Mulya becucuran keringat. Aku ulurkan sisa tisue basah yang tadi diberikanku semua.
“Nanti aja. Biarkan agin yang mengeringkan sendiri,” ujar Pak Mulya sambil menatap daun pepohonan yang bergoyang lirih.
Aku hanya menatap wajah Pak Mulya dengan tetap memegang tisue yang kuacungkan ke depan Pak Mulya.
“Kalau sudah seperti itu biasanya Pak Mulya terus merangkai puisi secara spontanitas,” bisikku dalam hati.
“Eh...Wulan, aku jadi teringat. Kamu dulu kan mau belajar gitar. Tapi kan belum jadi,” ucap Pak Mulya.
“Gimana,” lanjut Pak Mulya
“Emmm..., gimana ya pak,” jawabku
“Maunya pingin belajar, tapi gimana ya,” lanjutku
“Ya nanti ajalah direnungkan ulang. Siapa tahu masih bisa kita lakukan,” tanggap Pak Mulya.
“Oh, ya. Yuk kita makan siang dulu. Cari yang dkat sini aja,” ajak Pak Mulya sambil siap-siap berdiri.
Aku mengikuti Pak Mulya dengan berjalan disampingya. Suasana hatiku sudah kembali normal seperti ngobrol santai dengan teman-teman yang lain. Ya... rasa rinduku sudah terjawab dengan sebuah pertemuan yang meski singkat tapi cukup memberi makna.
“Mana janjinya?” tanya Pak Mulya sambil keluar dari pintu gerbang stadion.
“Janji apa pak?” tanyaku agak serius.
“Ah, masak lupa,” tegas Pak Mulya
“Sepertinya saya ndak janji apa-pa to pak?” tanyaku menegaskan.
“Lha, lupakan?” lanjut Pak Mulya menegaskan
Aku menghentikan langkah sambil menatap Pak Mulya sambil bertanya-tanya dalam hati. Aku agak heran, sepertinya aku ndak menjanjikan apapun sebelumnya.
“Pak.......!!!,” kehentikan langkan Pak Mulya dengan suaraku yang agak meninggi sambil menarik tangannya.
Aku tatap dengan penasaran wajah Pak Mulya. Sementara Pak Mulya tetap tenag dan tersenyum. Aku jadi seperti kelabakan ndak tahu apa yang di maksudkan.
“Ayo cari makan dulu, barangkali nanti ingat,” tegas Pak Mulya.
Sambil memasuki depot aku masih agak tegang dan kebingungan. Setelah memesan makanan dan minuman, sambil menunggu pesanan aku pindah tempat duduk ke samping Pak Mulya. Pak Mulya kelihatan serius sambil menyangga kedua pipi dengan kepalan kedua tangannya.
“Pak!” sapaku manja sambil menempelkan tubuh ke Pak Mulya.
“Pak! “ kuulangi sapaku sambil senyum dan meletakkan tangan kiriku ke paha Pak Mulya.
Pak Mulya menatapku dengan dengan membisu dan tanpa senyum sedikitpun. Dengan tetap manja aku merenung tentang janji yang ditagih.
“Masak, ndak ingat sama sekali?” tanya Pak Mulya.
“Ndak pa, ndak sama sekali,” jawabku.
“Saya ingatkan, atau dibiarkan tetap janji,” lanjut Pak Mulya.
“Terserah bapak aja. Saya dah ndak ngerti yang dimaksudkan” timpalku sambil mengalihkan tangan dari pupu Pak Mulya.
Aku meunundukkan wajah ke meja makan. Fikiranku mulai ndak enak. Aku kembali mengeluarkan tisue untuk mengeringkan air bening yang keluar darei hidungku.
“Lho, kok malah nangis lagi. Katanya janjinya tadi tetap tersenyum,” ungkap Pak Mulya sambil menekan pahaku.
“Pak... mesti meledek!” sahutku sambil senyum dan melirikkan mata ke Pak Mulya dengan detap menutup hudung dengan tisue.
“Ingat kan!” sambung Pak Mulya.
“He...pak, nanti habis ini ke rumah sakit lagi atau pulang,” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Mungkin besok aja ke rumah sakit. Dah ada yang nunggui,” jawab Pak Mulya.
Kami terus diam dan menikmati makanan yang sudah siap di hadapan kami. Dan setelah menyelesaikan tanggungjawab kami pada warung kami segera berpisah untuk sama-sama pulang.
Tanpa terasa akupun sepertinya banyak senyum sepanjang perjalanan pulang. Aku merasakan sebuah kenikmatan karena rinduku telah terobati.
Komentar
Tulis komentar baru